Adakah shalat sunnah rawatib qobliyah (sebelum) Jum’at ?
Hal ini masih diperselisihkan oleh para ulama
Jika kita melihat hadits, begitu pula atsar sahabat disebutkan mengenai adanya empat raka’at shalat sunnah atau selain itu. Namun hal ini bukan menunjukkan bahwa raka’at-raka’at tadi termasuk shalat sunnah rawatib sebelum Jum’at sebagaimana halnya dalam shalat Zhuhur.
Dalil-dalil tadi hanya menunjukkan adanya shalat sunnah sebelum Jum’at, namun bukan shalat sunnah rawatib, tetapi shalat sunnah mutlak.
Artinya, kita melakukan shalat sunnah dengan dua raka’at salam tanpa dibatasi, boleh dilakukan berulang kali hingga imam naik mimbar.
Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah shalat sunnah mutlak,
عن
سَلْمَانَ الْفَارِسِي رضي الله عنه قَالَ : قَالَ النَّبِي صلى الله عليه
وسلم : ( لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَيَتَطَهَّرُ مَا
اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ
طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ ، فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ، ثُمَّ
يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ ،
إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى ) رواه
البخاري (883) .
Dari Salmaan Al Faarisi, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah
seseorang mandi pada hari Jum’at, lalu ia bersuci semampu dia, lalu ia
memakai minyak atau ia memakai wewangian di rumahnya lalu ia keluar,
lantas ia tidak memisahkan di antara dua jama’ah (di masjid), kemudian ia melaksanakan shalat yang ditetapkan untuknya, Lalu ia diam ketika imam berkhutbah, melainkan akan diampuni dosa yang
diperbuat antara Jum’at yang satu dan Jum’at yang lainnya.” (HR. Bukhari no. 883)بي مالك أنهم كانوا في زمان عمر بن الخطاب يصلون يوم الجمعة حتى يخرج عمر . أخرجه مالك في “الموطأ” (1/103) وصححه النووي في “المجموع” (4/550).
Dari Tsa’labah bin Abi Malik, mereka di zaman ‘Umar bin Al Khottob melakukan shalat (sunnah) pada hari Jum’at hingga keluar ‘Umar (yang bertindak selaku imam). (Disebutkan dalam Al Muwatho’, 1: 103. Dishahihkan oleh An Nawawi dalam Al Majmu’, 4: 550).
وعن نافع قَال : كان ابن عمر يصلي قبل الجمعة اثنتي عشرة ركعة . عزاه ابن رجب في “فتح الباري” (8/329) لمصنف عبد الرزاق .
Dari Naafi’, ia berkata, “Dahulu Ibnu ‘Umar shalat sebelem Jum’at 12
raka’at.” (Dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya 8: 329,
dikuatkan oleh Ibnu Rajab dalam Fathul Bari).Tidak benar jika dalil-dalil di atas dimaksudkan untuk shalat sunnah rawatib sebelum Jum’at. Karena seandainya yang dimaksud adalah shalat rawatib tersebut, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah punya kesempatan melakukannya. Ketika shalat Jum’at, kebiasaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau keluar dari rumah, lalu langsung naik mimbar (tanpa ada shalat tahiyyatul masjid bagi beliau), lalu beliau berkhutbah di mimbar, lantas turun dari mimbar dan melaksanakan shalat Jum’at.
Jika ada yang menyatakan adanya shalat sunnah rawatib sebelum Jum’at, maka kami katakan, “Kapan waktu melakukan shalat tersebut di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Jika dijawab, setelah adzan. Maka tidaklah benar karena tidak ada dalil yang mendukungnya. Yang terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adzan Jum’at hanya sekali.
Jika dijawab, sebelum adzan. Maka seperti itu bukanlah shalat sunnah rawatib. Itu disebut shalat sunnah mutlak.
Salah seorang ulama besar Syafi’iyah, Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata,
وأما سنة الجمعة التي قبلها فلم يثبت فيها شيء
“Adapun shalat sunnah rawatib sebelumm Jum’at, maka tidak ada hadits shahih yang mendukungnya.” (Fathul Bari, 2: 426)Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad menyebutkan,
”
وكان إذا فرغ بلال من الأذان أخذ النبي صلى الله عليه وسلم في الخطبة ،
ولم يقم أحد يركع ركعتين البتة ، ولم يكن الأذان إلا واحدا ، وهذا يدل على
أن الجمعة كالعيد لا سنة لها قبلها ، وهذا أصح قولي العلماء ، وعليه تدل
السنة ، فإن النبي صلى الله عليه وسلم كان يخرج من بيته ، فإذا رقي المنبر
أخذ بلال في أذان الجمعة ، فإذا أكمله أخذ النبي صلى الله عليه وسلم في
الخطبة من غير فصل ، وهذا كان رأي عين ، فمتى كانوا يصلون السنة ؟
“Jika bilal telah mengumandangkan adzan Jum’at, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung
berkhutbah dan tidak ada seorang pun berdiri melaksanakan shalat dua
raka’at kala itu. ( Di masa beliau), adzan Jum’at hanya dikumandangkan
sekali. Ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu seperti shalat ‘ied
yaitu sama-sama tidak ada shalat sunnah qobliyah sebelumnya. Inilah di
antara pendapat ulama yang lebih tepat dan inilah yang didukung hadits.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah keluar dari rumah beliau, lalu beliau langsung naik mimbar dan Bilal pun mengumandangkan adzan. Jika adzan telah selesai berkumandang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkhutbah dan tidak ada selang waktu (untuk shalat sunnah kala itu). Inilah yang disaksikan di masa beliau. Lantas kapan waktu melaksanakan shalat sunnah (qobliyah Jum’at tersebut)?”
Jadi ketika kita masuk masjid, jika kita bukan imam, maka lakukanlah shalat tahiyatul masjid dan boleh menambah shalat sunnah dua raka’at tanpa dibatasi. Shalat sunnah tersebut boleh dilakukan sampai imam naik mimbar. Dan shalat sunnah yang dimaksud bukanlah shalat sunnah qobliyah Jum’at, namun shalat sunnah mutlak.
Sholat Sunnah Ba'da Jumat
Bagaimanakah tuntunan shalat sunnah ba’diyah Jum’at? Berapa jumlah raka’at yang dilaksanakan? Di manakah tempat terbaik dilaksanakan, di rumah ataukah di masjid? Tulisan berikut akan menjawabnya.
Shalat Ba’diyah Jum’at dan Jumlah Raka’atnya
Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan dari Ibnu ‘Umar,
أَنَّهُ
كَانَ إِذَا صَلَّى الْجُمُعَةَ انْصَرَفَ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فِى
بَيْتِهِ ثُمَّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصْنَعُ
ذَلِكَ
“Jika Ibnu ‘Umar melaksanakan shalat Jum’at, setelahnya ia
melaksanakan shalat dua raka’at di rumahnya. Lalu ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan seperti itu.” (HR. Muslim no. 882)Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا
“Jika salah seorang di antara kalian shalat Jum’at, maka lakukanlah shalat setelahnya empat raka’at.” (HR. Muslim no. 881)Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits-hadits ini menunjukkan disunnahkannya shalat sunnah ba’diyah Jum’at dan dorongan untuk melakukannya, minimalnya adalah dua raka’at, sempurnanya adalah empat raka’at.” (Syarh Muslim, 6: 169)
Imam Nawawi rahimahullah juga berkata, “Disebutkan empat raka’at karena keutamaannya. Sedangkan disebutkan dua raka’at untuk menjelaskan bahwa shalat sunnah ba’diyah Jum’at minimalnya adalah dua raka’at. Sudah dimaklumi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat ba’diyah Jum’at empat raka’at karena beliau sendiri yang memerintahkan dan mendorong untuk melakukannya. Empat raka’at ini lebih banyak mendapatkan kebaikan dan lebih utama.” (Syarh Muslim, 6: 169-170)
Melaksanakan di Masjid atau di Rumah?
Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmoul hafizhohullah menjelaskan bahwa kedua hadits tersebut menunjukkan bahwa boleh mengerjakan dua atau empat raka’at. Namun empat raka’at lebih afdhol karena tegas dari sabda Rasul. Dan sebaik-baik shalat sunnah adalah di rumah, baik dua atau empat raka’at yang dilakukan. (Lihat Bughyatul Mutathowwi’, hal. 99)
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah mengatakan, “Jika seseorang mau, ia bisa melaksanakan shalat ba’diyah Jum’at di masjid. Bisa pula ia melaksanakannya di rumah jika ia mau. Shalat sunnah di rumah itu lebih afdhol karena keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَفْضَلَ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ
“Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya kecuali shalat wajib” (HR. Bukhari no. 731 dan Muslim no. 781). (Khuthobul ‘Amm minal Kitab was Sunnah, hal. 76)Memisah Antara Shalat Jum’at dan Shalat Ba’diyah
Jika seseorang melakukan shalat ba’diyah Jum’at di masjid, maka diperintahkan ia memisah antara shalat wajib dan shalat sunnah dengan berbicara atau berpindah tempat.
Berdasarkan hadits As Saa-ib bin Yazid bahwa Mu’awiyyah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepadanya, “Apabila engkau telah shalat Jum’at, janganlah engkau sambung dengan shalat lain sebelum engkau berbicara atau pindah dari tempat shalat. Demikianlah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan pada kami. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ لاَ تُوصَلَ صَلاَةٌ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
“Janganlah menyambung satu shalat dengan shalat yang lain, sebelum kita berbicara atau pindah dari tempat shalat”. (HR. Muslim no. 883)Ash Shan’ani rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya memisah antara shalat sunnah dan shalat wajib, jangan kedua shalat tersebut bersambung langsung. Secara tekstual larangan di atas bermakna diharamkan. Hadits ini tidaklah khusus untuk shalat jum’at saja karena perowi berupaya menunjukkan kekhususan hukum itu untuk shalat jama’ah dengan hadits yang bersifat umum mencakup shalat Jum’at dan shalat lainnya.” (Subulus Salaam, 3: 148)
Semoga hari Jum’at kita menjadi hari yang penuh kebaikan dan diisi pula dengan amalan sholih.
Wallahul muwaffiq.
Sumber :
www.rumaysho.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar