Senin, 20 Juni 2016

Pengertian dan Penjelasan mati syahid

Pengertian Syahid

Secara etimologis atau secara bahasa, istilah syahid (شهيد) dengan wazan fa’iil (فعيل) bersumber dari kata dasar syahida – wasyhadu – syahadah (شَهِدَ – يشهد – شهادة), yang berarti menyaksikan.

Dan kata syaahid (شَاهِد) dan syahiid (شَهيْد) mengacu kepada pelaku dari perbuatan menyaksikan, alias orang yang menyaksikan atau orang yang menjadi saksi.

Meski syaahid (شَاهِد) dan syahiid (شَهيْد) bermakna sama, yaitu sama-sama saksi, namun bentuk syahiid (شَهيْد) lebih punya penekanan dalam makna. Artinya adalah orang yang benar-benar menjadi saksi.

Sama seperti perbedaan antara kata aalim (عَالِم) dan aliim (عَلِيم), keduanya sama-sama bermakna orang yang mengetahui. Namun aliim (عَلِيم) lebih tinggi kedudukannya dan lebih banyak ilmu pengetahuannya ketimbang aalim (عَالِم). Kalau kita ingin menyebut bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Mengetahui, kita menggunakan istilah al-aliim (العَلِيم).

Selain bermakna saksi, syahid juga bermakna orang yang hadir di suatu tempat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
لاَ يَحِلُّ لِلمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شاَهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa padahal suaminya hadir, kecuali dengan izinnya. (HR. Bukhari)
Dengan demikian, orang yang mati syahid itu berarti orang yang menjadi saksi atas manusia
وَتَكُونُوا شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ
Dan kamu menjadi saksi atas manusia (QS. Al-Hajj : 78)

Menjadi Saksi Atas Apa
Kalau orang yang mati syahid itu dikatakan menjadi saksi, yang menjadi pertanyaan adalah : mereka itu menjadi saksi apa ?
Apa yang mereka saksikan sehingga mereka bergelar sebagai orang yang menyaksikan ?

Untuk menjawab hal ini, para ulama berbeda-beda pandangan, karena dalil dan illat yang mereka pakai memang berbeda-beda.

Sebagian ulama mengatakan mereka yang mati syahid akan menyaksikan pahala dan kemuliaan yang Allah SWT berikan, pada saat mereka meninggal dunia. [1]
 
Sebagian yang lain mengatakan bahwa orang yang mati syahid itu menyaksikan datangnya para malaikat yang menaungi mereka dengan sayap-sayap mereka di saat kematiannya. Dan ada juga yang mengatakan bahwa orang yang mati syahid itu menyaksikan dunia dan akhirat. [2]
 
Sebagian yang lain mengatakan bahwa orang yang mati syahid menjadi saksi atas perjuangan membela kebenaran dari Allah SWT, sehingga dirinya menemui kematian dalam melakukan pembelaan itu.[3]
 
Sebagian yang lain dari pendapat para ulama, di antaranya Al-Azhari, mengatakan bahwa orang-orang yang mati syahid itu akan menyaksikan Darus-salam sebelum terjadinya hari kiamat nanti. Sedangkan orang yang matinya bukan dengan cara syahid, hanya nanti di akhirat saja akan menyaksikannya.[4]
 
Pendapat mereka berangkat dari firman Allah SWT berikut ini :
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أَمْوَاتاً بَلْ أَحْيَاء عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.(QS. Ali Imran : 169)

Menurut mereka, ketika hidup di sisi Allah di dunia inilah mereka sudah menjadi saksi adalah adanya Darus-salam.

Syahid dalam Arti Orang Kematiannya Disaksikan
Namun tentang penamaan orang yang mati di jalan Allah sebagai syahid, para ulama berbeda pendapat tentang hubungannya kata syahid dengan kematian itu.

Selain makna menjadi saksi di atas, ternyata ada sebagian ulama memaknai kata syahid bukan sebagai orang yang menjadi saksi, tetapi justru bermakna sebaliknya, yaitu orang yang disaksikan (مَشْهُود).

Dasar pendapat mereka bahwa terkadang wazan fa’iil (فعيل) bisa juga bermakna bukan pelaku, melainkan menjadi objek yang kepadanya dilakukan suatu pekerjaan.

Sehingga orang yang mati syahid itu bukan orang yang menjadi saksi, justru maknanya adalah orang kematiannya disaksikan.

Kalau memang orang yang mati syahid itu disaksikan, lalu pertanyaannya, siapakah yang menyaksikan mereka?

Umumnya mereka -sebagian ulama itu- mengatakan bahwa yang menyaksikan atau yang menjadi saksi bagi orang yang mati syahid tidak lain adalah para malaikat yang mulia, seperti dalam firman Allah SWT berikut ini :
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلاَّ تَخَافُوا وَلاَ تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS. Al-Hajj : 78)

Dalam hal ini ada yang mengatakan bahwa persaksian malaikat itu ketika orang yang mati syahid itu mengalami kematiannya, seperti Al-Imam Ar-Razi mengatakan bahwa orang yang mati syahid itu disaksikan oleh malaikat rahman, sebagaimana pendapat beliau di dalam kitab Hilyatul Fuqaha’. [5]
 
Dan ada yang mengatakan para malaikat menjadi saksi nanti di dalam atas kebaikannya dan atas haknya untuk masuk ke surga.

Dan ada juga yang berpendapat bahwa yang menjadi saksi justru darahnya sendiri yang tertumpah ke muka bumi. [6]

2. Istilah

Adapun makna mati syahid dalam pendekatan terminologis, atau secara istilah dalam ilmu fiqih yang berkembang, para ulama telah mendefinisikannya dengan berbagai bentuk ungkapan.
Tetapi semua sepakat bahwa definisi yang mereka berikan itu hanya terbatas buat orangyang mati syahid secara sesungguhnya, bukan mati syahid secara penyebutannya saja, atau pahalanya saja (syahid akhirat). Akan tetapi yang dimaksud adalah mati syahid dunia, dimana umumnya para ulama menetapkan tidak perlu dimandikan atau dikafani sebagaimana layaknya umumnya jenazah. Mereka yang mati syahid itu hanya dishalatkan dan dikuburkan dengan pakaian dimana dia meninggal dunia sebagai syahid.
Dengan pengertian tersebut, para ulama kemudian membuat kriteria atau definisi mati syahid sebagai berikut :

a. Al-Hanafiyah
Mewakili madzhab Al-Hanafiyah, Ibnu Abidin mendefinisikan tentang orang yang mati syahid sebagai :
هُوَ كُلُّ مُكَلَّفٍ مُسْلِمٍ طَاهِرٍ قُتِلَ ظُلْمًا بِجَارِحَةٍ
Semua orang yang mukallaf, muslim, suci dari hadats, terbunuh secara zalim dengan luka-luka.
Kalau kita telaah satu per satu definisi ini, maka kita akan mengetahui batas-batas mereka yang kematiannya termasuk mati syahid dengan yang tidak, yaitu :

§ Mukallaf
Orang yang bukan mukallaf tidak mati syahid. Mukallaf itu adalah orang yang akil dan baligh. Sehingga anak-anak kalau mati dalam peperangan itu tidak termasuk mati syahid.
Begitu juga dengan orang gila yang mati di tengah peperangan, mereka tidak mati syahid. Penyebabnya, karena keduanya bukan mukallaf.

§ Muslim
Orang kafir yang belum menyatakan keislamaannya, lalu bersimpati dan ikut dalam jihad bersama-sama dengan umat Islam, kalau mereka mati maka tidak kita sebut kematiannya dengan mati syahid. Sebab mati syahid itu hanya diperuntukkan buat orang-orang yang beragama Islam.
Mungkin orang itu berhak mendapat gelar pahlawan, tokoh bangsa, orang yang berjasa, atau dikuburkan di taman makam pahlawan dan seterusnya. Tetapi tetap saja orang itu bukan orang yang mati syahid.

§ Suci Dari Hadats
Orang yang mati syahid dalam pendapat Al-Hanfiyah ini disyaratkan harus suci dari hadats besar dan kecil. Dan bila dia seorang wanita, maka tidak sedang dalam keadaan haidh atau nifas.

§ Mati Dibunuh
Orang yang matinya karena sakit atau sebab-sebab lain, selain pembunuhan, tidak disebut sebagai mati syahid. Orang yang mati syahid di dunia ini hanya terbatas mereka yang matinya dengan cara pembunuhan.

Akan halnya orang sakit dan lainnya disebut juga mati syahid, itu hanya secara nilai pahalanya saja, yang kemudian sering diistilahkan dengan syahid akhirat.

§ Secara Terzalimi
Mati syahid hanya terbatas buat orang yang mati dibunuh secara zalim. Sedangkan orang yang mati dibunuh justru karena sesuai ketentuan dari Allah, seperti karena berzina dan harus dirajam, tidak dikatakan mati syahid.

Demikian juga orang yang membunuh orang lain dengan sengaja, maka hukuman baginya adalah hukum qishash, yaitu dia dihukum mati dengan cara dibunuh juga.

b. Al-Malikiyah
Ada pun ulama di kalangan madzhab Al-Malikiyah membuat definisi tentang orang yang mati syahid dengan redaksi :
شَهِيْدٌ مُعْتَرِكٌ فَقَطْ وَلَوْ بِبَلَدِ الإِسْلاَمِ أَوْلَمْ يُقَاتِلْ وَإِنْ أَجْنَبَ عَلَى الأَحْسَنِ إِلاَّ إِنْ رَفَعَ حَيًا وَإِنْ أَنْفَذَتْ مُقَاتِلهُ
Hanya yang ikut dalam perang fisik saja, meski matinya di negeri Islam dan tidak ikut membunuh, meski pun berjanabah, dan bukan orang yang keluar dalam keadaan hidup meski ditolong oleh lawan, dan bukan orang yang maghmur.

Batasan dari takrif ini adalah :

§ Terbatas Dalam Peperangan
Orang yang mati syahid hanya terbatas pada mereka yang mati di karena peperangan atau jihad fi sabilillah. Dan tidak termasuk mereka yang mati di luar akbiat peperangan, seperti mereka yang mati karena dirampok, atau terbunuh oleh teroris, atau perang yang merupakan fitnah sesama umat Islam.
Demikian juga tidak termasuk di dalam konteks mti syahid ini adalah mereka yang mati karena menderita suatu penyakit, melahirkan, tenggelam dan sebagainya.

§ Meski Mati di Negeri Islam
Mati syahid tidak terbata mereka yang mati medan pertempuran yang jauh dan memerlukan perjalanan jauh. Bahkan meski pertempuran itu terjadi di tengah negeri musli, asalkan umat Islam berhadapan dengan orang-orang kafir yang menjajah negeri muslim itu, maka mereka yang mati di dalam peperangan itu termasuk mati syahid.

Barangkali definisi ini ingin menegaskan bahwa meski di masa lalu umumnya hampir semua peperangan terjadi di luar daerah negeri Islam, namun bukan berarti syarat mati syahid harus terjadi di luar dari negeri Islam.

Sebab bisa saja terjadi negeri Islam malah diserang oleh musuh-musuh Allah, mereka masuk ke negeri Islam dan melakukan pembunuhan kepada umat Islam. Mereka yang mati membela negara Islam itu tentu mati syahid, walau matinya di negeri sendiri.

§ Atau Tidak Ikut Membunuh
Mereka yang tidak ikut membunuh musuh tetapi berada di dalam area pertempuran dan ikut terbunuh, maka mereka termasuk di dalam orang-orang yang mati syahid, menurut pendapat ini.

§ Meski Berjanabah
Mazhab Al-Malikiyah tidak mensyaratkan orang yang mati syahid harus suci dari hadats besar atau hadats kecil. Artinya, meski mereka mati dalam keadaan berjanabah, tetap saja matinya disebut sebagai mati syahid.

§ Bukan Orang Yang Keluar Dalam Keadaan Hidup
Tidak termasuk mati syahid orang yang keluar dari peperangan itu dan dia dalam keadaan masih hidup. Meski yang menolong dia dari kematian itu adalah musuh-musuhnya sendiri.

c. Asy-Syafi’iyah
Sedangkan definisi mati syahid dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah adalah :
مَنْ مَاتَ بِسَبَبِ قِتَالِ الكُفَّارِ حَالَ قِيَامِ القِتَالِ
Orang yang mati karena sebab memerangi orang-orang kafir ketika terjadi peperangan.
Dengan definisi itu maka batas orang yang matinya mati syahid dengan yang bukan mati syahid adalah :

§ Mati Bukan Karena Perang
Orang yang mati bukan karena peperangan, misalnya mati karena sakit, atau karena sudah tua, atau mati mendadak, di luar perang melawan musuh, maka kematiannya bukan mati syahid.

§ Memerangi Orang Kafir
Perang itu terkadang melawan orang kafir, tetapi terkadang melawan orang yang secara formal masih beragama Islam, seperti memerangi orang yang membangkang, teroris, ahlul baghyi, penjahat, pencoleng, perampok, pembajak dan sebagainya.

§ Ketika Terjadi Peperangan 
Meski seseorang ikut dalam sebuah peperangan dan terluka, hingga kemudian setelah peperangan usai, beberapa waktu kemudian dia akhirnya meninggal dunia, maka dia tidak mati syahid. Sebab peperangan telah usai, dan dia tidak mati di medan pertempuran secara langsung.

d. Al-Hanabilah

Mati Syahid secara Umum adalah seorang muslim yang meninggal karena berperang atau berjuang dijalan Allah membela kebenaran atau mempertahankan hak dengan penuh kesabaran dan keikhlasan untuk menegakaan agama Allah.


Mati Syahid

7 keutamaan orang yang mati syahid :
  1. Bau darahnya seperti aroma misk
  2. Tetesan darahnya merupakan salah satu tetesan yang paling dicintai Allah
  3. Ingin dikembalikan lagi ke dunia (untuk syahid lagi)
  4. Ditempatkan di Syurga Firdaus yang tertinggi
  5. Arwah Syuhada ditempatkan di tembolok burung hijau
  6. Orang yang mati syahid itu hidup
  7. Syahid itu tidak merasakan sakitnya pembunuhan
Golongan yang mati syahid selain orang yang mati dijalan Allah :

Nabi Muhammad Saw. bersabda, "Syahid selain orang yang mati dijalan Allah ada 7 golongan, yaitu :
  1. Orang yang mati karena muntaber (sakit perut), adalah syahid.
  2. Orang yang mati karena tenggelam adalah syahid.
  3. Orang yang mati karena perutnya kembung (busung).
  4. Orang yang mati karena kolera.
  5. Orang yang mati karena terbakar.
  6. Orang yang mati karena tertimbun longsor.
  7. Perempuan yang mati karena melahirkan."
Selain 7 macam syahid tersebut diatas masih ada lagi yang lainnya antala lain :
  1. Mati karena hanyut
  2. Mati karena dibuang.
  3. Mati karena digigit binatang.
  4. Mati karena kepanasan/kehausan.
  5. Mati karena diterkam binatang buas.
  6. Mati karena terjatuh.
  7. Mati diatas kasur dalam rengka perang Sabilillah.
  8. Mati terbunuh karena mempertahankan harta atau agamanya atau karena mempertanggungjawabkan amanat, atau karena membela keluarganya.
  9. Mati dalam penjara yang ditawan karena dizalimi orang.
  10. Mati karena rindu.
  11. Mati dalam rangka mencari ilmu.
 

B. Hakikat Mati Syahid

C. Keutamaan Mati Syahid

Mati syahid adalah salah satu dari dua kemungkinan yang akan dialami oleh orang yang berjihad. Kemungkinan lainnya adalah mendapatkan kemenangan, ghanimah atau perjanjian perdamaian.
Sedangkan orang yang tidak berjihad, tentu tidak akan mendapatkan keutamaan mati syahid. Kalau pun ada ungkapan bahwa ada orang-orang yang mati bukan karena berperang atau berjihad itu juga mendapat mati syahid, namun sesungguhnya hanya sebuah perbandingan nilai pahalanya. Sedangkan keutamaannya tentu tetap berbeda.

Keutamaan mati syahid di sini hanya berlaku bagi mereka yang mati syahid secara hakiki, dalam arti memang benar-benar mati di medan perang suci yang merupakan jihad fi sabilillah. Kepada mereka Allah memberikan banyak sekali keutamaan, antara lain :

1. Harum Darahnya

Seorang mujahid yang mati di medan pertempuran yang sesungguhnya, boleh jadi darahnya berceceran dimana-mana. Orang awam yang melihatnya pasti akan ngeri, atau malah merasa jijik. Namun di akhirat nanti, darah yang berceceran di sekujur tubuh itu justru akan berubah menjadi bau harum semerbak. Dan hal itu memang merupakan salah satu keutamaan bagi mujahid yang mati syahid di jalan-Nya, sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya.
Demi dzat yang jiwaku ditanganNya! Tidaklah seseorang dilukai dijalan Allah-dan Allah lebih tahu siapa yang dilukai dijalanNya-melainkan dia akan datang pada hari kiamat : berwarna merah darah sedangkan baunya bau misk (HR. Ahmad dan Muslim)

Meski hadits ini berbicara tentang apa yang terjadi nanti di hari kiamat, namun kenyataannya begitu banyak bukti di masa sekarang ini, mereka yang mati syahid, justru darahnya sudah berubah menjadi bau harum semerbak.

Misalnya tatkala umat Islam berjihad mengusir Uni Sovyet di tanah Afghan, banyak sekali mujahidin yang mengalami hal seperti itu. Semua menjadi bukti dan tanda dari Allah Yang Maha Rahman, bahwa mereka betul-betul telah menjadi syahid di jalannya.

Semasa hidupnya, Asy-Syahid Dr. Abdullah Azzam, ulama dan pimpinan mujahidin di Afghanistan, sampai membuat buku khusus yang mengabadikan karamah para mujahidin itu dalam satu tulisan yang berjudul : Tanda-tanda Kekuasaan Allah di dalam Jihad Afghan.

2. Tetesan Darahnya Dicintai Allah

Selain berbau wangi, tetesan darah orang yang mati syahid itu dicintai Allah SWT.
Bagi Allah SWT ada dua macam tetesan yang dicintainya, yaitu tetesan darah para syuhada, dan tetesan air mata orangyang takut kepada Allah SWT. Dan tetes darah para sy merupakan syuhada adalah satu tetesan yang paling dicintai Allah, sebagaimana sabda beliau SAW :
لَيْسَ شَيْءٌ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ قَطْرَتَيْنِ وَأَثَرَيْنِ : قَطْرَةٌ مِنْ دُمُوعٍ فيِ خَشْيَةِ اللهِ وَ قَطْرَةُ دَمٍ تُهْرَقُ فيِ سَبِيْلِ اللهِ وَأَمَّا الأَثَرَانِ : فَأَثَرٌ فيِ سَبِيْلِ اللهِ وَأَثَرٌ فيِ فَرِيْضَةٍ مِنْ فَرَائِضِ اللهِ
Tidak ada sesuatu yang dicintai Allah dari pada dua macam tetesan atau dua macam bekas : tetesan air mata karena takut kepada Allah dan tetesan darah yang tertumpah dijalan Allah; dan adapun bekas itu adalah bekas (berjihad) dijalan Allah dan bekas penunaian kewajiban dari kewajiban-kewajiban Allah (HR. At Tirmidzi)

3. Ingin Mati Syahid Berulang-ulang

Mungkin terdengar aneh dan tidak biasa, namun itulah kenyataannya. Orang yang mati syahid ternyata justru menikmati kematiannya itu, bahkan sampai ingin mati berkali-kali, karena saking indah dan nikmatnya.

Kalau ada orang yang ingin mati berkali-kali, maka orang itu pasti orang yang mati dalam keadaan syahid. Dia adalah orang yang setelah mati, malah ingin dikembalikan lagi ke dunia, tapi tujuannya untuk bisa mati lagi, yaitu mati dalam keadaan syahid.

Demikianlah Rasulullah SAW bersabda tentang perilaku aneh tapi nyata ini :
مَا مِنْ عَبْدٍ يَمُوتُ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ يَسُرُّهُ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا وَأَنَّ لَهُ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا إِلاَّ الشَّهِيدَ لِمَا يَرَى مِنْ فَضْل الشَّهَادَةِ فَإِنَّهُ يَسُرُّهُ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا فَيُقْتَل مَرَّةً أُخْرَى .
Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW bersabda,”Tidaklah seorang hamba meninggal dunia di sisi Allah yang lebih baik dari membuatnya bahagia kembali ke dunia, dan bahwa dunia dan isinya itu miliknya, kecuali orang yang mati syahid. Karena dia mengetahui keutamaan berjihad, dan bisa kembali ke dunia dan terbunuh lagi membuatnya bahagia.

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوَدَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ فيِ سَبِيلِ اللهِ فَأُقْتَل ثُمَّ أَغْزُو فَأُقْتَل ثُمَّ أَغْزُو فَأُقْتَل
Demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sungguh Aku amat mendambakan berperang di jalan Allah sampai aku terbunuh, kemudian perang lagi, terbunuh lagi, kemudian perang lagi dan terbunuh lagi.

يُغْفَرُ للِشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْن مَا أَحَدٌ يَدْخُلُ الجَنَّةَ يُحِبُّ أَنْ يَرْجِعَ إِلىَ الدُّنْيَا وَإِنَّ لَهُ مَا عَلىَ الأَرْضِ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ الشَّهِيْد فَِإنَّهُ يَتَمَنَّى أَنْ يَرْجِعَ إِلىَ الدُّنْيَا فَيُقْتَلُ عَشْرَ مَرَّاتٍ لِمَا يَرَى مِنَ الكَرَامَةِ.
Orang yang mati syahid diampuni atas semua dosanya kecuali hutang. Tidak ada seorang pun yang sudah masuk surga yang ingin kembali lagi ke dunia karena di dunia dia punya sesuatu, kecuali mati syahid. Sesungguhnya dia menginginkan untuk kembali ke dunia dan terbunuh 10 kali, lantaran kemuliaan mati syahid

عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ قَال : حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ خَالِدٍ أَنَّ رَسُول اللَّهِ ص قَال : مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِي سَبِيل اللَّهِ فَقَدْ غَزَا وَمَنْ خَلَفَ غَازِيًا بِخَيْرٍ فَقَدْ غَزَا
Dari Busr bin Said berkata,”Zaid bin Khalid mengatakan kepadaku bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Siapa yang menyiapkan diri berperang di jalan Allah maka dia telah berperang. Dan siapa yang mewakilkan …

4. Ditempatkan di Surga Firdaus yang Tertinggi

Sebagaimana kita ketahui bahwa surga itu terdiri dari kelas-kelas, dimana kenikmatan yang Allah SWT sediakan di dalamnya berjenjang dari yang paling bawah hingga yang paling tinggi.
Tentunya di jajaran surga yang paling tinggi terdapat para nabi dan rasul, yang memang orang-orang pilihan. Namun manusia biasa yang bukan dan nabi dan rasul pun ada juga yang menghuni surga yang paling tinggi. Di antara mereka itu adalah mereka yang mati dalam keadaan syahid di jalan Allah.

6. Tidak Mati Tetapi Hidup di sisi Allah

Meski orang yang gugur di medan jihad itu meninggal dunia, ruhnya terlepas dari badannya, keluarganya berduka, anak-anaknya menjadi yatim dan istrinya menjadi janda, namun pada hakikatnya orang yang mati syahid itu tidak mati seperti umumnya orang yang mati.
Allah SWT menegaskan bahwa mereka yang mati syahid itu tetap hidup, namun kita tidak tahu dimana posisi mereka, hanya Allah SWT saja yang tahu.
Bahkan Allah SWT menegaskan bahwa mereka yang mati syahid itu bukan hanya hidup di alam tertentu, tetapi mreka juga mendapatkan rizki. Hal itu dijelaskan dua kali di dalam Al-Quran ketika Allah SWT berfirman :
وَلاَ تَقُولُواْ لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبيلِ اللّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاء وَلَكِن لاَّ تَشْعُرُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, mati; bahkan mereka itu hidup , tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS. Al-Baqarah : 154)

وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاء عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.(QS. Ali Imran : 169)

Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang teknis seperti apa dan bagaimana kehidupan para syuhada di sisi Allah itu. Namun satu hal yang wajib diyakini adalah bahwa mereka itu tidak mati tetapi masih hidup di suatu tempat tertentu, hanya Allah SWT saja yang tahu detailnya.

7. Tidak Merasakan Sakit

Orang yang gugur di jalan Allah tentu mati dengan cara tidak normal menurut ukuran umumnya. Ada yang tangannya buntung, atau kakinya lepas, bahkan ada juga yang gugur dengan 70 tusukan parah di sekujur tubuhnya. Darah berceceran dimana-mana, tubuh boleh jadi sudah tidak lagi utuh.

Logika kita akan mengatakan betapa sakitnya mati dalam keadaan seperti itu. Kita akan berpikir mereka itu mati kesakitan dengan mengerang-ngerang merasakan sakitnya di sekujur tubuh.
Namun yang terjadi sesungguhnya malah terbalik 180 derajat. Mereka yang mati dalam keadaan syahid itu sebagaimana Rasulullah SAW menegaskan, justru mereka sama sekali tidak merasakan sakitnya pembunuhan yang dialaminya.

Ini tentu aneh dan unik. Bagaimana mungkin darah berceceran dimana-mana dan tubuh tidak utuh lagi, tetapi yang punya tubuh justru tidak merasakan. Tetapi kalau kita tahu dalam dunia kedokteran ada semacam obat bius yang membuat mati rasa, kira-kira seperti itulah yang terjadi. Para syuhada itu justru sama sekali merasakan apa-apa saat mereka dijemput ajal di medan jihad itu. Dan ini merupakan karunia serta karamah tersendiri buat mereka yang telah menjual seluruh dirinya hanya untuk kepentingan Allah SWT.

Hadits nabi menyebutkan bahwa mereka hanya merasakan sakit sedikit seperti orang dicubit.
مَا يَجِدُ الشَّهِيْدُ مِنْ مَسِّ القَتْلِ إِلاَّ كَمَا يَجِدَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَسِّ القُرْصَةِ
Dari Abu Hurairah ia berkata ; “Rasul Saw bersabda ; tidaklah syahid merasakan tertimpa kematian kecuali seperti halnya seorang dari kamu merasakan terkena cubitan (Tirmidzi)

8. Diampuni Dosanya

Seorang yang mati dalam keadaan syahid mendapat fasilitas yang istimewa, yaitu seluruh dosa-dosa yang pernah dia lakukan diampuni oleh Allah SWT, begitu dia meregang ajal.
Allah SWT berfirman :
وَلَئِن قُتِلْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ مُتُّمْ لَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَحْمَةٌ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ وَلَئِن مُّتُّمْ أَوْ قُتِلْتُمْ لإِلَى اللَّهِ تُحْشَرُونَ
Dan sungguh kalau kamu gugur di jalan Allah atau meninggal, tentulah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik dari harta rampasan yang mereka kumpulkan. (QS. Ali Imrah : 157)


Dan Rasul SAW bersabda :
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
Diampuni bagi syahid semua dosa kecuali hutang (HR. Muslim)
Dari hadits ini para ulama mengambil kesimpulan bahwa dosa yang diampuni hanyalah dosa-dosa yang terkait dengan hak Allah. Sedangkan dosa yang terkait dengan hak-hak manusia atau huququl-’ibad, seperti menyakiti orang, melukai, mencaci, mencela, menghina, merendahkan, mempjtergantung dari kerelaan dan keluasan yang diberikan oleh manusia.

9. Malaikat Menaungi dengan Sayapnya

Orang yang mati syahid mendapatkan kehormatan dari para malaikat yang mulia. Bentuk penghormatan yang diberikan adalah para malaikat itu menaungi jenazah yang mati syahid itu dengan sayap-sayap mereka.

Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah SAW ketika menejaskan bagaimana para malaikat memuliakan syuhada di medan Uhud.
فَمَا زَالَتْ المَلاَئِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا
Malaikat terus menaunginya dengan sayapnya. (HR. Bukhari Muslim)

Biasanya orang yang meninggal akan merasakan takut karena dia berhadapan dengan sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya, apalagi bertemu dengan malaikat yang amat perkasa.
Namun khusus buat orang yang mati syahid, justru malaikat itu akan bersikap sangat ramah dan mengayomi, bahkan memuliakan jenazah yang mati syahid tersebut dengan bahasa tubuh, menaunginya dengan sayap mereka.

10. Memberi Syafaat Kepada 70 Keluarganya

Orang yang mati syahid mendapatkan fasilitas khusus dari Allah SWT, yaitu berwenang untuk memberi syafaat kepada 70 orang dari keluarganya.
عن المقدام بن معدي كرب رضي الله عنه قال: قال رسول الله e: للشهيد عند الله ست خصال، يغفر له في أول دفعة، ويرى مقعده من الجنة، ويجار من عذاب القبر، ويأمن من الفزع الأكبر ويوضع على رأسه تاج الوقار: الياقوتة منها خير من الدنيا وما فيها ويزوج اثنتين وسبعين زوجة من الحور العين ويشفع في سبعين من أقاربه
Orang yang mati syahid di sisi Allah mendapatkan 6 perkara, diampuni sejak awal kematiannya, melihat tempatnya di surga, dijauhkan dari adzab kubur, aman dari huru-hara akbar, diletakkan mahkota yang megah di atas kepalanya yang terbuat dari batu yaqut terbaik di dunia, dikawinkan dengan 72 bidadari, serta diberi syafaat sebanyak 70 orang dari kerabatnya. (HR. Tirmizy dan Ibnu Majah)

11. Jasadnya Tidak Dimakan Tanah

Orang yang mati syahid mendapatkan kemuliaan dimana jasadnya setelah dikubur tidak dimakan tanah, tetapi utuh seperti ketika baru dikuburkan, meski sudah lama meninggal dunia.

ثُمَّ لَمْ تَطِبْ نَفْسِي أَنْ أَتْرُكَهُ مَعَ الآخَرَ فَاسْتَخْرَجْتُهُ بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَإِذَا هُوَ كَيَوْمِ وَضَعَتْهُ هَنِيَّة غَيْرَ أُذُنِهِ
Kemudian aku tidak tega meninggalkannya dengan yang lainnya, maka aku keluarkan jasadnya setelah 6 bulan. Ternyata bentuknya masih sama dengan bantuk ketika dikuburkan, kecuali bagian telinganya. (HR. Bukhari)

Mati syahid di jalan Allah ada beberapa macam:
  1. Syahid di dunia dan akhirat
  2. Syahid di dunia, namun bukan syahid di akhirat
  3. Syahid di akhirat, namun bukan syahid di dunia
Syahid di dunia dan akhirat, akan mendapatkan pahala syahadah (yang sempurna). Orang yang dihukumi sebagai syahid di dunia dan akhirat adalah orang yang gugur dalam perang dalam, keadaan sedang maju bukan sedang kabur, dalam rangka menegakkan kalimat (agama) Allah. Dan ia tidak makan dan minum setelah terluka dan jatuh di pertempuran dalam keadaan belum mendapatkan pengobatan.

Menurut sebagian ulama, orang yang terluka di peperangan lalu sempat makan, minum dan mendapat pengobatan setelah terlukanya, maka ia tidak dihukumi syahid. Kecuali jika hanya makan atau minum sedikit saja kemudian wafat setelah terlukanya, (maka masih dihukumi syahid).
Syahid di dunia adalah orang yang gugur dalam perang, dalam keadaan maju bukan kabur, namun niatnya bukan dalam rangka menegakkan kalimat (agama) Allah. Maka di dunia ia dihukumi sebagai syahid secara zahirnya.

Namun di akhirat, di sisi Allah, ia tidak mendapatkan pahala syahid.
Adapun syahid di akhirat yang bukan syahid dunia, ia diperlakukan di akhirat kelak sebagaimana orang yang mati syahid dan mendapatkan pahala syahid. Adapun di dunia, jenazahnya tetap dimandikan, dikafankan, dishalati, dan jenazahnya diperlakukan sebagaimana jenazah kaum Muslimin pada umumnya. Yang termasuk jenis ini di antaranya:
  • Al Mabthun, orang yang meninggal karena penyakit di perutnya
  • Al Ghariq (orang yang mati tenggelam)
  • Al Hariq (orang yang mati terbakar)
  • Orang yang sakit dzatul janbi (semacam penyakit paru-paru)
  • Wanita yang meninggal ketika nifas
  • Al Gharib, orang yang meninggal jauh di luar daerah tempatnya tinggal sehingga ia asing di sana
Dan yang lainnya semisal mereka, mendapatkan syahid di akhirat. Namun bukan syahid di dunia.
Inilah beberapa jenis mati syahid yang dijelaskan para ulama. Wallahu a’lam

Ada tujuh orang meninggal yang masuk kategori mati syahid seperti dalam hadis riwayat Malik, Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah di bawah:

الشهداء سبعة سوى القتل في سبيل الله : المطعون شهيد والغرق شهيد وصاحب ذات الجنب شهيد والمبطون شهيد والحرق شهيد والذي يموت تحت الهدم شهيد والمرأة تموت بجمع شهيدة

Artinya: Syuhada ada tujuh selain terbunuh dijalan Allah: yang mati karena wabah tha’un, yang tenggelam, yang mati karena sakit bengkak yang panas pada selaput dada, yang sakit perut, yang mati terbakar, yang mati terkena reruntuhan, dan wanita yang mati setelah melahirkan (atau sedang hamil).

Dalam hadis riwayat Muslim, Nabi bersabda:

الشهداء خمسة: المطعون والمبطون والغَرِق وصاحب الهدم والشهيد في سبيل الله عز وجل.

Artinya: Syuhada ada lima: yang mati karena penyakit tha'un, sakit perut, tenggelam, yang mati terkena reruntuhan, dan gugur karena jihad fi sabilillah.

Dari kedua hadis di atas Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam Fathul Bari Syarah Sahih Bukhari hlm. 6/44 membagi orang mati syahid menjadi dua yaitu syahid dunia akhirat dan syahid akhirat saja:

ويتحصل مما ذكر من هذه الأحاديث أن الشهداء قسمان: شهيد الدنيا وشهيد الآخرة، وهو من يقتل في حرب الكفار مقبلاً غير مدبر مخلصًا. وشهيد الآخرة وهو من ذكر، بمعنى أنهم يعطون من جنس أجر الشهداء ولا تجري عليهم أحكامهم في الدنيا

Artinya: Dari hadis-hadis di atas dapat disimpulkan bahwa orang mati syahid (syuhada) itu ada dua macam: (a) Syahid dunia akhirat yaitu orang yang terbunuh karena memerangi orang kafir secara berhadapan, tidak lari dan ikhlas; (b) syahid akhirat yaitu orang-orang yang disebut di atas dalam arti mereka diberi pahala para syuhada namun tidak dihukumi sebagai syahid di dunia (dalam arti tetap harus dimandikan dan dishalati).

Kamis, 16 Juni 2016

Dalil tentang Sholat Sunnah sebelum dan sesudah Sholat Jumat

Sholat Sunnah Qobliyah Jumat

Adakah shalat sunnah rawatib qobliyah (sebelum) Jum’at ?
Hal ini masih diperselisihkan oleh para ulama

Jika kita melihat hadits, begitu pula atsar sahabat disebutkan mengenai adanya empat raka’at shalat sunnah atau selain itu. Namun hal ini bukan menunjukkan bahwa raka’at-raka’at tadi termasuk shalat sunnah rawatib sebelum Jum’at sebagaimana halnya dalam shalat Zhuhur.

 Dalil-dalil tadi hanya menunjukkan adanya shalat sunnah sebelum Jum’at, namun bukan shalat sunnah rawatib, tetapi shalat sunnah mutlak.
Artinya, kita melakukan shalat sunnah dengan dua raka’at salam  tanpa dibatasi, boleh dilakukan berulang kali hingga imam naik mimbar.

Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah shalat sunnah mutlak,
عن سَلْمَانَ الْفَارِسِي رضي الله عنه قَالَ : قَالَ النَّبِي صلى الله عليه وسلم : ( لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ ، فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ، ثُمَّ يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى ) رواه البخاري (883) .
Dari Salmaan Al Faarisi, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at, lalu ia bersuci semampu dia, lalu ia memakai minyak atau ia memakai wewangian di rumahnya lalu ia keluar, lantas ia tidak memisahkan di antara dua jama’ah (di masjid), kemudian ia melaksanakan shalat yang ditetapkan untuknya, Lalu ia diam ketika imam berkhutbah, melainkan akan diampuni dosa yang diperbuat antara Jum’at yang satu dan Jum’at yang lainnya. (HR. Bukhari no. 883)

بي مالك أنهم كانوا في زمان عمر بن الخطاب يصلون يوم الجمعة حتى يخرج عمر . أخرجه مالك في “الموطأ” (1/103) وصححه النووي في “المجموع” (4/550).

Dari Tsa’labah bin Abi Malik, mereka di zaman ‘Umar bin Al Khottob melakukan shalat (sunnah) pada hari Jum’at hingga keluar ‘Umar (yang bertindak selaku imam). (Disebutkan dalam Al Muwatho’, 1: 103. Dishahihkan oleh An Nawawi dalam Al Majmu’, 4: 550).

وعن نافع قَال : كان ابن عمر يصلي قبل الجمعة اثنتي عشرة ركعة . عزاه ابن رجب في “فتح الباري” (8/329) لمصنف عبد الرزاق .
Dari Naafi’, ia berkata, “Dahulu Ibnu ‘Umar shalat sebelem Jum’at 12 raka’at.” (Dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya 8: 329, dikuatkan oleh Ibnu Rajab dalam Fathul Bari).

Tidak benar jika dalil-dalil di atas dimaksudkan untuk shalat sunnah rawatib sebelum Jum’at. Karena seandainya yang dimaksud adalah shalat rawatib tersebut, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah punya kesempatan melakukannya. Ketika shalat Jum’at, kebiasaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau keluar dari rumah, lalu langsung naik mimbar (tanpa ada shalat tahiyyatul masjid bagi beliau), lalu beliau berkhutbah di mimbar, lantas turun dari mimbar dan melaksanakan shalat Jum’at.

Jika ada yang menyatakan adanya shalat sunnah rawatib sebelum Jum’at, maka kami katakan, “Kapan waktu melakukan shalat tersebut di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Jika dijawab, setelah adzan. Maka tidaklah benar karena tidak ada dalil yang mendukungnya. Yang terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adzan Jum’at hanya sekali.
Jika dijawab, sebelum adzan. Maka seperti itu bukanlah shalat sunnah rawatib. Itu disebut shalat sunnah mutlak.

Salah seorang ulama besar Syafi’iyah, Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata,
وأما سنة الجمعة التي قبلها فلم يثبت فيها شيء
Adapun shalat sunnah rawatib sebelumm Jum’at, maka tidak ada hadits shahih yang mendukungnya.” (Fathul Bari, 2: 426)

Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad menyebutkan,
” وكان إذا فرغ بلال من الأذان أخذ النبي صلى الله عليه وسلم في الخطبة ، ولم يقم أحد يركع ركعتين البتة ، ولم يكن الأذان إلا واحدا ، وهذا يدل على أن الجمعة كالعيد لا سنة لها قبلها ، وهذا أصح قولي العلماء ، وعليه تدل السنة ، فإن النبي صلى الله عليه وسلم كان يخرج من بيته ، فإذا رقي المنبر أخذ بلال في أذان الجمعة ، فإذا أكمله أخذ النبي صلى الله عليه وسلم في الخطبة من غير فصل ، وهذا كان رأي عين ، فمتى كانوا يصلون السنة ؟
“Jika bilal telah mengumandangkan adzan Jum’at, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung berkhutbah dan tidak ada seorang pun berdiri melaksanakan shalat dua raka’at kala itu. ( Di masa beliau), adzan Jum’at hanya dikumandangkan sekali. Ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu seperti shalat ‘ied yaitu sama-sama tidak ada shalat sunnah qobliyah sebelumnya. Inilah di antara pendapat ulama yang lebih tepat dan inilah yang didukung hadits.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah keluar dari rumah beliau, lalu beliau langsung naik mimbar dan Bilal pun mengumandangkan adzan. Jika adzan telah selesai berkumandang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkhutbah dan tidak ada selang waktu (untuk shalat sunnah kala itu). Inilah yang disaksikan di masa beliau. Lantas kapan waktu melaksanakan shalat sunnah (qobliyah Jum’at tersebut)?”

Jadi ketika kita masuk masjid, jika kita bukan imam, maka lakukanlah shalat tahiyatul masjid dan boleh menambah shalat sunnah dua raka’at tanpa dibatasi. Shalat sunnah tersebut boleh dilakukan sampai imam naik mimbar. Dan shalat sunnah yang dimaksud bukanlah shalat sunnah qobliyah Jum’at, namun shalat sunnah mutlak.

Sholat Sunnah Ba'da Jumat

Bagaimanakah tuntunan shalat sunnah ba’diyah Jum’at? Berapa jumlah raka’at yang dilaksanakan? Di manakah tempat terbaik dilaksanakan, di rumah ataukah di masjid? Tulisan berikut akan menjawabnya.
Shalat Ba’diyah Jum’at dan Jumlah Raka’atnya
Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan dari Ibnu ‘Umar,
أَنَّهُ كَانَ إِذَا صَلَّى الْجُمُعَةَ انْصَرَفَ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فِى بَيْتِهِ ثُمَّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصْنَعُ ذَلِكَ
Jika Ibnu ‘Umar melaksanakan shalat Jum’at, setelahnya ia melaksanakan shalat dua raka’at di rumahnya. Lalu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan seperti itu.” (HR. Muslim no. 882)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا
Jika salah seorang di antara kalian shalat Jum’at, maka lakukanlah shalat setelahnya empat raka’at.” (HR. Muslim no. 881)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits-hadits ini menunjukkan disunnahkannya shalat sunnah ba’diyah Jum’at dan dorongan untuk melakukannya, minimalnya adalah dua raka’at, sempurnanya adalah empat raka’at.” (Syarh Muslim, 6: 169)

Imam Nawawi rahimahullah juga berkata, “Disebutkan empat raka’at karena keutamaannya. Sedangkan disebutkan dua raka’at untuk menjelaskan bahwa shalat sunnah ba’diyah Jum’at minimalnya adalah dua raka’at. Sudah dimaklumi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat ba’diyah Jum’at empat raka’at karena beliau sendiri yang memerintahkan dan mendorong untuk melakukannya. Empat raka’at ini lebih banyak mendapatkan kebaikan dan lebih utama.” (Syarh Muslim, 6: 169-170)

Melaksanakan di Masjid atau di Rumah?
Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmoul hafizhohullah menjelaskan bahwa kedua hadits tersebut menunjukkan bahwa boleh mengerjakan dua atau empat raka’at. Namun empat raka’at lebih afdhol karena tegas dari sabda Rasul. Dan sebaik-baik shalat sunnah adalah di rumah, baik dua atau empat raka’at yang dilakukan. (Lihat Bughyatul Mutathowwi’, hal. 99)

Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah mengatakan, “Jika seseorang mau, ia bisa melaksanakan shalat ba’diyah Jum’at di masjid. Bisa pula ia melaksanakannya di rumah jika ia mau. Shalat sunnah di rumah itu lebih afdhol karena keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَفْضَلَ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ
Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya kecuali shalat wajib” (HR. Bukhari no. 731 dan Muslim no. 781). (Khuthobul ‘Amm minal Kitab was Sunnah, hal. 76)

Memisah Antara Shalat Jum’at dan Shalat Ba’diyah
Jika seseorang melakukan shalat ba’diyah Jum’at di masjid, maka diperintahkan ia memisah antara shalat wajib dan shalat sunnah dengan berbicara atau berpindah tempat.

Berdasarkan hadits As Saa-ib bin Yazid bahwa Mu’awiyyah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepadanya, “Apabila engkau telah shalat Jum’at, janganlah engkau sambung dengan shalat lain sebelum engkau berbicara atau pindah dari tempat shalat. Demikianlah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan pada kami. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ لاَ تُوصَلَ صَلاَةٌ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
“Janganlah menyambung satu shalat dengan shalat yang lain, sebelum kita berbicara atau pindah dari tempat shalat”. (HR. Muslim no. 883)

Ash Shan’ani rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya memisah antara shalat sunnah dan shalat wajib, jangan kedua shalat tersebut bersambung langsung. Secara tekstual larangan di atas bermakna diharamkan. Hadits ini tidaklah khusus untuk shalat jum’at saja karena perowi berupaya menunjukkan kekhususan hukum itu untuk shalat jama’ah dengan hadits yang bersifat umum mencakup shalat Jum’at dan shalat lainnya.” (Subulus Salaam, 3: 148)

Semoga hari Jum’at kita menjadi hari yang penuh kebaikan dan diisi pula dengan amalan sholih.
Wallahul muwaffiq.

Sumber :
www.rumaysho.com

Selasa, 14 Juni 2016

Mengapa emas diharamkan untuk pria ?

Assalamualaikum Wr Wb,

Banyak kalangan muslim yang mungkin tidak tau ataupun tidak peduli dengan hal "Sepele" tentang haramnya pria yang memakai perhiasan emas.

Logika Praktis selalu mempertanyakan korelasinya dengan hal buruk yg terjadi pada tubuh kita sebagai pembuktian, seperti hal diharamkannya babi dikarenakan secara kesehatan juga berdampak negatif, maka diterima banyak pihak, bahkan oleh sebagian non muslim sekalipun .

Menurut penelitian para ahli, atom pada emas mampu menembus ke dalam kulit melalui pori-pori dan masuk ke dalam darah manusia. Jika seorang pria mengenakan emas dalam jumlah tertentu dan dalam jangka waktu yang lama, maka dampak yang ditimbulkan: di dalam darah dan urine akan mengandung atom emas dalam kadar yang melebihi batas ( migrasi emas ).

Jika itu terjadi dalam jangka waktu yang lama, dan tidak dibuang, maka atom emas dalam darah ini akan sampai ke otak dan memicu penyakit Alzheimer.

Alzheimer adalah suatu penyakit dimana penderitanya kehilangan semua kemampuan mental dan fisik, menyebabkannya kembali seperti anak kecil. Alzheimer bukan penuaan normal, tetapi penuaan paksaan atau terpaksa. Contoh public figure yang terkena penyakit Alzheimer adalah Charles Bronson, Ralph Waldo Emerson dan Sugar Ray Robinson.

Lalu, mengapa Islam memperbolehkan wanita untuk mengenakan emas?
Jawabannya adalah, “Wanita tidak menderita masalah ini karena setiap bulan, partikel berbahaya tersebut keluar dari tubuh wanita melalui menstruasi.”  Itulah sebabnya Islam mengharamkan pria mengenakan perhiasan emas dan membolehkan wanita memakainya.

Penyakit yang disebabkan oleh kandungan emas ini, tidak ditemukan pada perempuan. Penelitian tentang penyakit ini menyebutkan bahwa dalam tubuh seorang perempuan/wanita, terdapat suatu lemak unik, lemak yang berbeda yang tidak dimiliki seorang laki-laki dimana lemak ini akan mencegah unsur senyawa atom emas (Au) untuk masuk ke dalam tubuh, sehingga saat atom ini masuk, hanya mampu menembus kulit, namun tidak bisa menembus lemak yang menghalangi jalan menuju daging dan darah.

Penelitian lain menyebutkan bahwa di dalam tubuh seorang wanita, zat emas bisa masuk ke dalam tubuh dan mengalir bersama darah, namun zat ini tidak akan berbahaya karena akan dibuang bersama darah saat haid/menstruasi. Jadi Nabi membolehkan seorang istri/wanita mengenakan cincin/perhiasan dari emas, namun sangat dilarang bagi suami/laki-laki.

Alasan Islam melarang pria memakai emas, telah disampaikan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam lebih 1400 tahun yang lalu. Padahal beliau tidak pernah belajar ilmu fisika.

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Al-Bara’ bin Azib Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki memakai cincin emas di tangannya, maka beliau memintanya supaya mencopot cincinnya, kemudian melemparkannya ke tanah. (HR Bukhari & Muslim).
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang cincin emas (bagi laki-laki),” (HR Bukhari No 5863 & Muslim No. 2089).
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah bertemu seorang lelaki yang memakai cincin emas di tangannya. Beliau mencabut cincin tersebut lalu melemparnya, kemudian bersabda,
« يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِى يَدِهِ » (“Seseorang dari kalian telah sengaja mengambil bara api neraka dengan meletakkan (cincin emas semacam itu) di tangannya”).

Lalu, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi, ada yang mengatakan kepada lelaki tadi, “Ambillah dan manfaatkanlah cincin tersebut.” Ia berkata, “Tidak, demi Allah. Saya tak akan mengambil cincin itu lagi selamanya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuangnya,” (HR Muslim No. 2090, dari hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas).


Imam Nawawi Rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini berkata, “Seandainya si pemilik emas tadi mengambil emas itu lagi, tidaklah haram baginya. Ia boleh memanfaatkannya untuk dijual dan tindakan yang lain. Akan tetapi, ia bersikap waro’ (hati-hati) untuk mengambilnya, padahal ia bisa saja menyedekahkan emas tadi kepada yang membutuhkan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang seluruh pemanfaatan emas. Yang beliau larang adalah apabila emas tersebut dikenakan. Namun untuk pemanfaatan lainnya, dibolehkan,” (Syarh Shahih Muslim, 14: 56).
Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Shahih Muslim (14: 32), “Emas itu haram bagi laki-laki berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” Dalam kitab yang sama (14: 65), Imam Nawawi juga berkata, “Para ulama kaum Muslimin sepakat bahwa cincin emas halal bagi wanita. Sebaliknya mereka juga sepakat bahwa cincin emas haram bagi pria.”

Bagaimana dengan Emas Putih ?
Perlu diingat bahwa Tukar Cincin bukanlah budaya Islam !!

Saya pernah membaca sebuah tulisan yang menceritakan tentang kekecewaan seorang ibu ketika ia hendak menikah. Pada saat itu ia berfikir untuk membelikan emas putih untuk calon suaminya sebagai cincin perkawinan mereka di sebuah toko emas.

Ternyata selang beberapa lama setelah menikah, emas putih itu terlihat memudar dan lama kelamaan menjadi kuning dan mulailah ia menyadari bahwa emas putih yang dia harapkan sebelumnya adalah platina ternyata adalah emas kuning biasa yang disepuh dengan bahan tertentu sehingga tampak putih.

Dari kisah tersebut maka perlu dibedakan antara emas putih dan platina. Apabila emas putih yang dimaksud adalah emas kuning (Au /Aurum) yang dicampur dengan unsur-unsur logam putih, seperti nikel, palladium sehingga merubah warna aslinya dari kuning menjadi putih maka hukum mengenakan ‘emas putih’ ini bagi seorang laki-laki adalah haram dikarenakan penyepuhan tersebut tidaklah menghilangkan zat aslinya yaitu emas kuning (Aurum), sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah saw melihat sebuah cincin dari emas ditangan seorang laki-laki maka beliau saw pun melepas dan membuangnya. Dan beliau saw bersabda,”Salah seorang diantara kalian sengaja menginginkan bara api dari neraka dengan mengenakannya (cincin emas) ditangannya.’ Kemudian dikatakan kepada laki-laki itu setelah Rasulullah saw pergi,’Ambillah cincinmu dan manfaatkanlah.’ Orang itu berkata,’Tidak, demi Allah aku tidak akan mengambilnya selama-lamanya, sesungguhnya Rasulullah saw telah membuangnya.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al ‘Ash bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa dari umatku mengenakan emas kemudian dia mati masih dalam keadaan mengenakannya maka Allah mengharamkan baginya emas di surga. Dan barangsiapa dari umatku yang mengenakan sutera kemudian dia mati masih dalam keadaan mengenakannya maka Allah mengharamkan baginya sutera di surga.” (HR. Ahmad)

Pengharaman ini khusus bagi laki-laki dan tidak bagi perempuan, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ali bahwasanya Nabi saw mengambil sebuah sutera dan menjadikannya di sebelah kanannya dan mengambil sebuah emas dan menjadikannya di sebelah kirinya kemudian beliau saw bersabda,”Sesungguhnya kedua jenis ini haram bagi kaum laki-laki dari umatku.” (HR. An Nasai dan Abu daud) demikian juga sabdanya saw,”Dihalalkan (mengenakan) sutera dan emas bagi kaum wanita dari umatku dan diharamkan bagi kaum laki-lakinya.” (HR. Ahmad)

Jadi emas warna apa pun, baik putih, merah atau yang lainnya selama ia hanyalah sepuhan yang dilakukan pada emas kuning maka hukumnya haram bagi laki-laki untuk dikenakan.
Adapun apabila emas putih yang dimaksudkan adalah platina maka ia tidaklah termasuk dalam golongan emas (Aurum). Ia memang termasuk kategori logam yang mahal bahkan ada yang mengatakan bahwa harganya 4 – 5 kali lebih mahal daripada emas. Dengan demikian diperbolehkan bagi kaum pria untuk mengenakannya dikarenakan tidak ada dalil-dalil syariat yang menunjukkan pengharamannya terhadap laki-laki.

Penamaan masyarakat selama ini bahwa platina adalah emas putih tidaklah menjadikannya haram karena ia hanyalah sebatas penamaan yang pada hakekatnya ia bukanlah emas, sebagaimana mahalnya harga platina juga tidak menjadikannya haram untuk dikenakan oleh kaum laki-laki.

Diambil dari berbagai sumber