Minggu, 29 Mei 2016

Hukum Islam tentang sholat berjamaah bagi perempuan

Shalat berjamaah memang lebih utama 27 derjat dari pada shalat munfarid (sendirian). Begitulah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits. Dalam masalah keutamaan ini tidak ada perbedaan antara yang laki-laki dan perempuan.

Kemudian, bagaimana dengan pelaksanaannya? Apakah harus di masjid atau cukup di rumah? Dalam hal ini ulama menjelaskan, laki-laki lebih utama melaksanakan shalat fardhu berjamaah di masjid dan perempuan lebih utama melaksanakan shalat fardhu berjamaah di rumah. Penjelasan ini dapat kita lihat dalam kitab Ianatut Tholibin karya Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Ad-Dimyathi juz 2 hal. 5 sebagai berikut ;
قوله: والجماعة في مكتوبة لذكر بمسجد أفضل– وذلك لخبر: صلوا – أيها الناس – في بيوتكم، فإن أفضل الصلاة صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة.…….. وخرج بالذكر المرأة، فإن الجماعة لها في البيت أفضل منها في المسجد
Artinya : (Ungkapan Syaikh Zainuddin Al-Malibari : Shalat Fardhu berjamaah di masjid lebih utama bagi laki-laki)hal tersebut berdasarkan hadits : shalatlah kalian di rumah-rumah kalian karena shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang di rumahnya kecuali shalat fardhu……dan di sini terdapat pengecualian bagi perempuan. Untuk perempuan shalat berjamaah lebih utama dilaksanakan di rumahnya dari pada di masjid.

Kemudian, terkait shalat berjamaah untuk suami istri, dalam kitab Hasyiyah Al-Bajuri Ala Syarhi ibn Qosim karangan syaikh Ibrahim Al-Baijuri juz 1 hal. 250 disebutkan :
 وتحصل فضيلة الجماعة بصلاته بزوجته أو نحوها بل تحصيله الجماعة لأهل بيته أفضل
Artinya: Seorang laki-laki juga mendapatkan keutamaan shalat berjamaah dengan melaksanakannya bersama istri atau keluarga yang lain, bahkan pelaksanaan shalat berjamaah bersama keluarga di rumahnya lebih utama.

Perlu diingat bahwa paparan di atas terkait masalah lebih utama atau tidak, bukan masalah boleh atau tidaknya perempuan melaksanakan shalat berjamaah di masjid. Menyangkut boleh atau tidaknya Hukum Wanita Shalat Berjamaah Di Masjid tentu jawabanya boleh boleh saja tetapi ada beberapa syarat yang perlu di perhatikan.

Ada beberapa poin atau persyaratan bagi wanita jika ia ingin bersungguh-sungguh berjamaah ke masjid untuk mendapatkan pahala dalam kitab al Mughni, semata hanya karena Allah bukan karena niatan lainnya:

1. Izin suami bagi yang sudah menikah
Ini adalah syarat utama seorang wanita yang ingin berjamaah ke masjid. Jika suami tidak mengizinkan,  dengan alasan yanga masuk akal, janganlah membantah, karena ridha-nya suami untuk istrinya ke masjid termasuk syarat yang sangat penting.

2. Memakai pakaian menutup aurat
Tentu hal ini sangatlah penting dilakukan. Bagaimana mungkin wanita pergi kemasjid dengan pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuhnya dan tipis akan membuat jamaah lain tidak terganggu? Maka pakailah pakaian yang sopan, bahan tidak tipis dan menutup aurat.

3. Wanita itu pergi dengan tanpa wewangian (minyak wangi)
Mengapa tanpa minyak wangi? Karena pada dasarnya akan mengundang perhatian bagi jamaah lelaki dan malah mengganggu kekhusukan shalat, karena biasanya aroma minyak wanita lebih feminism dan bisa membangkitkan nafsu buruk lelaki.

4. Tidak menggunakan perhiasan yang berlebihan, tidak bersolek/berdandan yang berlebihan dan pakaian yang menarik perhatian, khususnya untuk lawan jenis
Poin ini sangat jelas, karena jika wanita pergi kemasjid dengan dandanan yang menor, perhiasan yang berlebihan malah akan menimbulkan mudharat dan bahaya bagi dirinya.

5. Wanita itu tidak boleh mengabaikan hak suami dan anak-anak, saat ditinggalkan ke masjid
Alih-alih beribadah ke masjid janganlah lupa dengan hak suami, seperti memasak, menata rumah dan menyiapkan keperluan mereka. Apalagi jika mempunyai anak kecil yang dimungkinkan akan membuat gaduh dan menganggu kekhusukan beribadah, atau mengompol dan lain sebagainya didalam masjid, maka pertimbangkan kembali untuk shalat jamaah ke masjid.

6. Kepergiannya tidak menimbulkan fitnah
Jika wanita kepergiannya ke masjid bisa menimbulkan fitnah atau pembicaraan dikalangan jamaah lainnya, atau oranglain, maka sebaiknya tidak perlu melakukannya, sebelum hal-hal yang menimbulkan fitnah tersebut dapat diluruskan. Karena itu tidak membawa manfaat bagi wanita itu sendiri juga orang lain.

Demikianlah beberapa persyaratan yang harus dipenuhi jika wanita ingin beribadah jamaah ke masjid, semoga bermanfaat.

Sumber : Dunia Islam.org

Kamis, 26 Mei 2016

Perbedaan Hijab, Jilbab, Khimar Dan Kerudung





Kajian Islam – Seringkali disekitar kita bingung apasih Perbedaan Hijab, Jilbab, Khimar Dan Kerudung, apalagi yang sedang belajar memakai hijab tentu ingin mengetahui perbedaan tersebut.
Demi memenuhi penasaran para wanita muslim kali ini dunia islam akan membahas itu semua secara singkat dan semoga bisa mudah di pahami.

Perbedaan Hijab Dan Jilbab
Hijab (bahasa Arab: حجاب ħijāb) adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti penghalang. Pada beberapa negara berbahasa Arab serta negara-negara Barat, kata “hijab” lebih sering merujuk kepada kerudung yang digunakan oleh wanita muslim. Namun dalam keilmuan Islam, hijab lebih tepat merujuk kepada tatacara berpakaian yang pantas sesuai dengan tuntunan agama.

Ada yang menyatakan juga bahwa setiap jilbab adalah hijab, tetapi tidak semua hijab itu jilbab, sebagaimana yang tampak. Seperti dijelaskan di atas, hijab berasal dari kata hajaban yang artinya menutupi, dengan kata lain al-Hijab adalah benda yang menutupi sesuatu.

Hijab menurut Al Quran artinya penutup secara umum, bisa berupa tirai pembatas, kelambu, papan pembatas, dan pembatas atau aling-aling lainnya. Memang terkadang kata hijab dimaksudkan untuk makna jilbab.

Adapun makna lain dari hijab adalah sesuatu yang menutupi atau menghalangi dirinya. Di indonesia sendiri ada banyak macam – macam hijab.

Apa itu jilbab?
jilbāb (Arab: جلباب ) adalah busana muslim terusan panjang menutupi seluruh badan kecuali tangan, kaki dan wajah yang biasa dikenakan oleh para wanita muslim. Penggunaan jenis pakaian ini terkait dengan tuntunan syariat Islam untuk menggunakan pakaian yang menutup aurat atau dikenal dengan istilah hijab (dalam arti seperti ditunjukkan dalam pengertian hijab di atas).

Jadi, jilbab ialah pakaian yang longgar dan dijulurkan ke seluruh tubuh hingga mendekati tanah sehingga tidak membentuk lekuk tubuh. Hal ini tertuang dalam perintah Allah dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 59: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…”

Secara terminologi, dalam kamus yang dianggap standar dalam Bahasa Arab, jilbab berarti selendang atau pakaian lebar yang dipakai wanita untuk menutupi kepada, dada dan bagian belakang tubuhnya. ( Baca juga : Perintah dan Hukum Memakai Jilbab Bagi Wanita Muslim )

Dapat kita ambil kesimpulan bahwa jilbab pada umumnya adalah pakaian yang lebar, longgar dan menutupi seluruh bagian tubuh. Sedangkan hijab adalah sesuatu pembatas atau aling-aling yang menutupi aurat. Memang terkadang kata hijab dimaksudkan untuk makna jilbab.

Apa itu Khimar?
Khimar atau khumur atau kerudung/kudung di dalam Al-Qur’an disebut dengan istilah khumur, sebagaimana terdapat pada surat An Nuur ayat 31: “Hendaklah mereka menutupkan khumur (kerudung-nya) ke dadanya. (An Nuur :31)      ”

Khimar menutupi kepala, leher dan menjulur hingga menutupi dada wanita dari belakang maupun dari depan (termasuk menutupi tulang selangka).

Khimar merupakan pakaian atas atau penutup kepala. Desain pakaian ini yaitu menutupi kepala, leher dan menjulur hingga menutupi dada wanita dari belakang maupun dari depan (termasuk menutupi tulang selangka).

Khimar ini tidak diikatkan ke leher seperti kerudung, karena jika hal tersebut dilakukan, maka akan memperjelas bentuk lekuk dada dari wanita. Jadi khimar harus menjulur lurus kebawah dari kepala ke seluruh dada tertutupi.

Khimar seringkali disebut kerudung, tapi sebenarnya berbeda. Perintah Khimar terdapat dalam QS An-Nur ayat 31. Khimar adalah apa yang dapat menutupi kepala, leher dan dada tanpa menutupi muka.

Apa beda khimar dan kerudung atau kudung?
Kerudung hampir mirip dengan khimar, namun kerudung tidak dianjurkan dalam Islam. Sebab, desain kerudung cuma sebagai penutup kepala saja. Kerudung yang hanya sebagai penutup kepala, tidak sepanjang khimar yang mampu menutupi dada wanita sekaligus.

Kerudung hanya menutup kepala atau leher saja, akan tetapi bentuk lekuk tubuh pada bagian leher dan dada masih terlihat.

Sumber : duniaislam.org

Rabu, 11 Mei 2016

Mengapa Alloh SWT menggunakan kata ganti Kami ?


Seringkali orang kafir mencoba mengganggu iman kita dengan pertanyaan sbb:
1. Mengapa Qur’an banyak menggunakan kata KAMI untuk ALLAH?
2. Bukankah kami itu banyak?
3. Itu berarti Qur’an pun mengakui “Tuhan” bapa, “Tuhan” anak & “Tuhan” roh ?

Bagaimana kita menjawab pertanyaan semacam ini???
Terkadang kita sering terjebak dengan pertanyaan semacam ini. Pertanyaan bisa berawal dari tidak tahu, namun banyak pula para kufar yg berusaha untuk membodohi umat Islam yang banyak tidak faham dengan bahasa arab. Pertanyaan seperti ini sering dijadikan senjata melawan umat Islam.

A. Konteks Penggunaan Pertama
Yang utama harus diingat ialah, Bahasa Arab adalah bahasa yang paling sukar di dunia. ( Disusul oleh Bahasa China ).

Hal ini disebabkan karena dalam sebuah kata, bahasa arab bisa memiliki banyak makna. kandungan seni serta balaghah dan fashohahnya, Contoh: Sebuah gender, dalam suatu daerah bisa bermakna lelaki, tapi dalam daerah lain bisa bermakna perempuan.

Dalam tata bahasa Arab, ada kata ganti pertama singular (anâ), dan ada kata ganti pertama plural (nahnu). Sama dengan tata bahasa lainnya. Akan tetapi, dalam bahasa Arab, kata ganti pertama plural dapat, dan sering, difungsikan sebagai singular.

Dalam grammar Arab (nahwu-sharaf), hal demikian ini disebut “al-Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i” , kata ganti pertama yang mengagungkan dirinya sendiri.

(Dhamir ‘NAHNU’ ialah dalam bentuk jamak yang berarti kita atau kami. Tapi dalam ilmu ‘NAHWU’, maknanya tak cuma kami, tapi aku, saya dan lainnya).

Permasalahannya terjadi setelah al-Quran yang berbahasa Arab, dengan kekhasan grammarnya, diterjemahkan ke dalam bahasa lain, termasuk Indonesia, yang tak mengenal “al-Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i” tersebut.

Akan tetapi, setelah mengetahui perbedaan gramer ini, kejanggalan tersebut, mudah-mudahan segera dapat dimengerti dan dimaklumi.

Bagaimana mungkin aqidah Islam yang sangat logis dan kuat itu mau ditumbangkan cuma dengan bekal logika bahasa yang setengah-setengah, jika memang “KAMI” dalam Qur’an diartikan sebagai lebih dari 1, lalu mengapa orang arab yg jauh lagi faham akan bahasa arab tidak menyembah lebih dari satu ALLAH?

Dalam ilmu bahasa arab, penggunaan banyak istilah dan kata itu tidak selalu bermakna zahir dan apa adanya. Sedangkan Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan muatan nilai sastra tingkat tinggi.

Selain kata ‘Nahnu”, ada juga kata ‘antum’ yang sering digunakan untuk menyapa lawan bicara meski hanya satu orang. Padahal makna `antum` adalah kalian (jamak).
Secara rasa bahasa, bila kita menyapa lawan bicara kita dengan panggilan ‘antum’, maka ada kesan sopan dan ramah serta penghormatan ketimbang menggunakan sapaan ‘anta’.

Kata ‘Nahnu` tidak selalu bermakna banyak, tetapi menunjukkan keagungan Allah SWT. Ini dipelajari dalam ilmu balaghah.
Contoh: Dalam bahasa kita ada juga penggunaan kata “Kami” tapi bermakna tunggal. Misalnya seorang Lurah dalam pidato sambutan berkata,”Kami sebagai Lurah berpesan . . .dsb “.
Padahal Lurah hanya sendirian dan tidak banyak, tapi dia bilang “Kami”. Lalu apakah kalimat itu bermakna bahwa Lurah sebenarnya ada banyak? atau hanya satu ?

Kata “kami” dalam hal ini digunakan sebagai sebuah rasa bahasa dengan tujuan nilai kesopanan. Tapi rasa bahasa ini mungkin tidak bisa diserap oleh orang asing yang tidak mengerti rasa bahasa. Atau mungkin juga karena di barat tidak lazim digunakan kata-kata seperti itu.

Kalau umat kristiani tidak bisa faham rasa bahasa ini, harap maklum saja, karena Alkitab Bible mereka memang telah kehilangan rasa bahasa. Bahkan bukan hanya kehilangan rasa bahasa, tapi juga kehilangan kesucian sebuah kitab suci.
Seperti yg sudah diketahui banyak orang, alkitab Khristiani merupakan terjemahan dari terjemahan yang telah diterjemahkan dari terjemahan sebelumnya.
Ada sekian ribu versi bible yang antara satu dan lainnya bukan saja tidak sama tapi juga bertolak belakang. Jadi wajar bila alkitab christian mereka itu tidak punya balaghoh, logika, rasa dan gaya bahasa. Dia adalah tulisan karya manusia yang kering dari nilai sakral.

Di dalam Al-Quran ada penggunaan yang kalau kita pahami secara harfiyah akan berbeda dengan kenyataannya. Misalnya penggunaan kata ‘ummat’. Biasanya kita memahami bahwa makna ummat adalah kumpulan dari orang-orang. Minimal menunjukkan sesuatu yang banyak. Namun Al-Quran ketika menyebut Nabi Ibrahim yang saat itu hanya sendiri saja, tetap disebut dengan ummat.
Sesungguhnya Ibrahim adalah “UMMATAN” yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif . Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan. (QS. An-Nahl : 120)

B. Konteks Penggunaan Kedua.
Kata “Kami” bermakna bahwa dalam mengerjakan tindakan tersebut, Allah melibatkan unsur-unsur makhluk (selain diri-Nya sendiri).

Dalam kasus nuzulnya al-Qur’an, makhluk-makhluk yang terlibat dalam pewahyuan dan pelestarian keasliannya adalah sejumlah malaikat, terutama Jibril;
kedua Nabi sendiri; ketiga para pencatat/penulis wahyu; keempat, para
huffadz (penghafal) dll. (Coba perhatikan baik-baik, kebanyakan ayat-ayat
yang bercerita tentang turunnya al-Qur’an [dalam format kalimat aktif],
Allah cenderung menggunakan kata Kami).

Contoh
“Sesungguhnya Kami telah turunkan al-Zikr [Al-Qur’an] dan Kami Penjaganya
(keaslian)”. [kami lupa pada surat dan ayat berapa].

Contoh lain, coba lihat ayat-ayat tentang mencari rezki. Dalam ayat-ayat tersebut. Allah sering
menggunakan kata Kami; artinya, rezki harus diusahakan oleh manusia itu sendiri, walaupun kita juga yakin bahwa rezki sudah ditentukan oleh Allah.

C. Konteks Penggunaan Ketiga.
Ayat yang menggunakan kata Kami biasanya menceritakan sebuah peristiwa
besar yang berada di luar kemampuan jangkauan nalar manusia, seperti penciptaan Adam,
penciptaan bumi, dan langit.

Allah sendiri ingin menokohkan/memberi kesan “Kemahaan-Nya” kepada manusia, agar
manusia dapat menerima/mengimani segala sesuatu yang berada di luar jangkauan nalar/rasio manusia.
Contoh :
“Sesungguhnya KAMI telah menciptakan kamu (Adam), lalu KAMI bentuk tubuhmu,
kemudian KAMI katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka
merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud” ([al-A’raf 7:11)

Jika ada orang kufar berani mengganggu iman Islam, maka katakanlah yg HAQ itu HAQ & katakana pula yg BATHIL itu BATHIL. Sampaikanlah dengan hikmah & cara yg baik.

Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka…(Qs. 29 Ankabuut: 46).
Wallahu a’lam bisshowab

Sumber: dari catatan Arif Lali Jiwo
1. Islam Terbukti Benar
2. Pesantrenvirtual.com
3. Media dakwah
4. Admmuslimmenjawab.multiply.com